Knowledge Management : Jalan Menuju Keunggulan Inovasi

Inovasi kini barangkali telah menjelma menjadi sebuah mantra yang kudu diusung kala sebuah organisasi bisnis hendak terus mengibarkan kejayaannya. Tanpa inovasi, sebuah perusahaan bisa terpeleset dalam ambang kekalahan.

Produk smartphone keluaran Nokia misalnya, siapa mengira bisa begitu cepat terpeleset dalam pasar domestik di tanah air. Inovasi agresif yang telah dilakukan oleh para pesaingnya telah membuat relevansi Nokia menjadi begitu cepat pudar dalam persaingan pasar ponsel yang begitu keras.

Lantas jika inovasi memang telah menjadi begitu penting, dimensi apa yang mesti diracik untuk menopang keberadaannya? Disinilah kita mesti menoleh pada konsep tentang knowledge management. Atau sebuah proses untuk menciptakan, mengelola, dan mengaplikasikan pengetahuan demi tumbuhnya parade inovasi yang membikin para pesaing kehilangan nyali.

Sebelum mendiskusikan secara detil mengenai pentingnya knowledge management dalam mendorong proses inovasi, ada baiknya kita melihat sekilas mengenai dua kategori penting pengetahuan. Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai explicit knowledge atau pengetahuan yang bisa dengan mudah dijabarkan dalam rangkaian kata-kata, atau formula dan langsung dapat ditransfer secara lengkap kepada orang lain. Contoh pengetahuan eksplisit adalah seperti buku panduan pemeliharaan mobil atau SOP pelayanan pelanggan.

Jenis yang kedua adalah tacit knowledge atau jenis pengetahuan yang relatif lebih sulit dijabarkan dengan rangkaian kata-kata. Seringkali pengetahuan yang amat mendalam dan menempel dalam otak seseorang tidak terlalu mudah untuk ditiru. Contoh : pengetahuan seorang koki yang dibangun bertahun-tahun melalui pengalaman panjang. Buku resep adalah explicit knowledge yang mudah di-akses dan dipelajari. Pengetahuan koki yang handal adalah tacit knowledge yang tidak begitu mudah ditransfer kepada orang lain.

Tugas knowledge management adalah memastikan bahwa kedua jenis pengetahuan itu – baik yang bersifat explicit ataupun tacit – dapat dipelihara, terus dikembangkan dan kemudian diaplikasikan untuk memenangkan pertempuran dalam arena bisnis.

Sebuah perusahaan yang berhasil menjalankan tugas knowledge management dengan cemerlang biasanya akan mampu melenggang menuju jalan kemenangan inovasi. Sebaliknya, perusahaan yang lamban dalam mengakuisisi pengetahuan mutakhir acap akan tergelincir dalam tebing kekalahan.

Disini kita bisa melihat beragam contoh tentang peran pengetahuan dalam mendorong inovasi yang menjulang. Kisah pil biru yang menggemparkan dengan merk Viagra itu misalnya, diracik oleh pengetahuan cemerlang Pfizer : sederet pengelolaan pengetahuan yang dibangun melalui riset medis yang amat panjang. Atau kisah Teh Botol Sosro, dibentangkan oleh tonggak tacit knowledge para pendirinya tentang bagaimana caranya meracik teh dengan aroma dan rasa yang pas di hati – sehingga apapun makanannya, minumnya selalu teh sosro.

Sebaliknya, karena merasa tidak memiliki pengetahuan yang bagus tentang cara membikin kecap dengan rasa mak nyus, maka Unilever Indonesia “membajak pengetahuan” dengan cara membeli perusahan Kecap Bango.

Kisah akuisisi pengetahuan ini juga terjadi dalam kasus pembelian perusahaan PeopleSoft (software dalam bidang HR) oleh Oracle. Karena merasa tidak memiliki pengetahuan yang kokoh dalam bidang software HR system, Oracle – salah satu penguasa pasar software bisnis selain SAP – memilih melakukan “instant knowledge acquisition” dengan cara mencaplok PeopleSoft.

Sementara, tanpa kecepatan membangun pengetahuan yang terus berkembang, perusahaan bisa tersandung. Dalam pasar smartphone misalnya, masa depan berpihak kepada mereka yang memiliki pengetahuan software yang unggul. Dan sungguh dalam pengetahuan software ponsel ini, Nokia ibarat murid SLTA jika dibanding iPhone atau Google Android (yang level pengetahuannya sudah setara dengan kelas profesor). Itulah kenapa dalam pasar smartphone, Nokia mendadak menjadi pecundang yang hanya bisa termangu menyaksikan ponsel Android terus melesat.

Pesan yang mau disampaikan adalah ini : sebuah knowledge management yang handal hanya bisa tumbuh jika pertama-tama ia dibekali oleh kecakapan dalam menciptakan dan mengakuisisi pengetahuan. Dan seperti yang dicontohkan dalam kasus diatas, dua alternatif cara menciptakan pengetahuan untuk inovasi adalah : 1) membangun sendiri melalui proses research & development yang panjang dan melelahkan (contoh Pfizer) atau 2) melakukan akuisisi pengetahuan (seperti contoh Kecap Bango).

Apapun caranya, terus berusaha mengembangkan pengetahuan demi tumbuhnya inovasi adalah kunci kemenangan bisnis. Jadi sekali lagi, INNOVATE or DIE.

Sumber : http://strategimanajemen.net/2010/10/11/knowledge-management-jalan-menuju-keunggulan-inovasi/

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

Personal Knowledge Management

Sadarkah Anda bahwa setiap harinya ada 1.000 situs web baru diciptakan? Sementara, setiap tahunnya, tidak kurang dari 30.000 jurnal hasil penelitian baru dipublikasikan. Ini adalah era ledakan informasi, di mana penyimpanan informasi, data dan buku tidak lagi bisa dilakukan secara statis di lemari arsip atau perpustakaan. Web sites sekarang lebih dinamis, bisa setiap saat berpindah lokasi, nama dan ukurannya. Jurnal pun sedemikian seringnya di-“update”, diubah, dikembangkan, bahkan dihilangkan. Jadi, selain bertambahnya informasi, perubahannya pun sulit diikuti jika individu tidak pintar pintar me-manage-nya.

Beberapa waktu yang lalu Unilever Indonesia dan Bank Indonesia dinobatkan sebagai juara 1 dan 2 untuk organisasi dengan Knowledge Management terbaik di Indonesia. Hal ini berarti bahwa organisasi tersebut sudah bisa memanfaatkan informasi yang ada, menjadikannya pengetahuan yang diolah untuk berbagai kegiatan manajemen. Canggihnya sistem komputer di era digital inilah yang memungkinkan ini terjadi.

Di level individu, tidak semua orang terbiasa dan trampil me-manage informasi yang dimilikinya. Tidak jarang kita temukan, seorang manajer bahkan direktur “ngawur”, mengabaikan informasi yang ada, ketika akan mengambil keputusan, atau menganalisa suatu gejala dalam situasi kerja. Sebaliknya, ada juga manajer atau direktur perusahaan berkutat dan terobsesi untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya sehingga tidak produktif karena kerap terlambat mengambil tindakan.

Individu, mau tidak mau perlu mempunyai taktik untuk mengelola informasi yang ia butuhkan untuk dijadikan dasar pengetahuan pribadinya. Banyaknya informasi perlu disikapi oleh individu, agar ia bisa mensistematisir dan mengembangkan ‘knowledge management’ pribadinya. Ada individu yang tidak sadar bahwa dia tidak tahu, namun mengembangkan suatu isu dengan pengetahuan yang tidak faktual dan belum terolah, alias: sok tahu. Sebaliknya ada individu yang tidak sadar bahwa ia sebenarnya tahu, tetapi tidak tahu bagaimana menggali pengetahuannya secara efektif. Personal knowledge management adalah strategi individual untuk menjinakkan informasi dan memanfaatkannya.

Sadari Apa yang Kita Tahu
Terkadang kita kagum saat bertemu seseorang yang bisa berbicara tentang segala hal dengan mengaitkan pengalaman pribadinya, pengetahuan, bacaan, pengamatan atau juga jurnal yang serius. Orang seperti ini terasa ’encer’ dan ’knowledgable’. Ia adalah contoh orang yang memiliki ”personal knowledge management” yang baik.

Terkadang individu mengabaikan dan tidak menghargai pengetahuan subyektif yang dimilikinya, yaitu wawasan, kesimpulan pribadi, hasil intuisi, pengalaman pribadi, ekspresi, nilai, maupun keyakinan pribadi. Pengetahuan ini seringkali disimpan dalam memori yang sulit dijangkau ketika memikirkan sesuatu. Yang kerap lebih ditonjolkan adalah pengetahuan obyektif, yaitu pengetahuan yang didapat secara formal, sebagai hasil belajar, analisa, mengikuti seminar, dan lainnya. Biasanya pengetahuan ini mudah diekspresikan karena dilengkapi dengan data penunjang, rumus, dan definisi.

Individu yang ingin memanfaatkan ’knowledge’-nya secara utuh, perlu mempunyai strategi mentransformasi potongan-potongan pengetahuan, baik obyektif maupun subyektif, sehingga memiliki ’database’ yang seimbang.
Cari, Pilih, Pilah, Beri Judul Pribadi
Informasi tidak secara ’gratis’ disuguhkan kepada anda. Untuk itu, individu dituntut untuk memiliki kemampuan mencari, mem-‘browse’, dan mengakses informasi yang dibutuhkan. Kita perlu mengaktifkan semua daya dan panca indera untuk memperoleh informasi. Pasang kuping, pasang mata, menajamkan rasa dan mengamati lingkungan sekitar, sama kadar pentingnya dengan melakukan browsing.
Selanjutnya, menyimpan semua informasi yang anda temukan tanpa terlebih dulu memilih dan memilahnya adalah tindakan yang salah, karena informasi hanya berguna bila bisa dicari kembali. Informasi yang didapat, juga tidak akan berguna bisa kita tidak melakukan ’exercise’ dengan mengajukan ‘tanya-jawab’ pada diri kita sendiri, mengenai what, when, where, why dan how, bahkan ”what if” dan ”so what”. Kesimpulan dan hasil pengolahan ini adalah milik pribadi anda, paten anda, dan untuk itu, berilah judul pribadi terhadap semua informasi yang ingin anda simpan. Dengan sistematika ini, cara fikir kita baru bisa dikatakan utuh.
Manusia hanya bisa mengingat dan mengolah 7 poin besar dalam satu momen tertentu dan kita perlu mengatur apa yang ingin kita ingat dan apa yang ingin kita lupakan. Apakah setiap poin itu diisi dengan informasi yang baru atau basi, yang lengkap atau tidak lengkap, mentah atau matang, akan bergantung pada cara kita mengoperasikan otak kita. Dengan demikian otak juga menyediakan data yang ”fresh”, matang dan yang memang kita butuhkan.
Berpikir teratur, kontinyu, optimal dan efektif adalah tantangan intelektual abad ke-21 ini.
(Sumber : Kompas 9 September 2006) – http://blog.caturstudio.com/2008/07/personal-knowledge-management/

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

Seberapa Pentingkah Knowledge Management bagi UKM?

Secara umum, lemahnya daya saing merupakan faktor utama yang menyebabkan usaha kecil menengah (UKM) kita kurang berkembang di pasar global. Bila kita telaah lebih jauh, ternyata permasalahannya ada pada kurangnya pengetahuan (knowledge) yang dimiliki dari para pengusaha tersebut. Wajar saja, karena memang mayoritas pendidikan pengusaha kecil menengah di Indonesia masih rendah.

Padahal seperti telah diketahui, pengetahuan memegang peranan yang sangat penting dalam kemajuan perusahaan. Semakin unggul pengetahuan suatu perusahaan dan sumber daya manusianya (SDM) maka akan semakin tinggi daya saing perusahaan di pasar global.

Contohnya adalah kesuksesan Microsoft dalam menjadi salah satu perusahan Information Technology (IT) terbesar di dunia. Sangat terbukti, bahwa Microsoft berhasil karena kekuatan pengetahuan yang dimiliki oleh pendiri dan pegawai-pegawainya. Lihat saja, harga saham Microsoft yang dihargai tinggi oleh masyarakat bukan dihitung berdasarkan aset yg dimiliki microsoft, namun lebih karena Microsoft memiliki pegawai dengan pengetahuan yang di atas rata-rata perusahaan lain.

Namun, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara yang efektif dan efesien dalam meningkatkan pengetahuan di sebuah perusahaan? Berapa banyak dana yang harus dikeluarkan untuk mengirim karyawan ke lembaga pelatihan, sekolah, atau seminar agar terjadi peningkatan pengetahuan? Lalu, bagaimana bila perusahaan anda memiliki karyawan yang lumayan banyak? Berapa lama waktu yang dibutuhkan?

Inilah beberapa pertanyaan yang biasa diajukan para pengusaha maupun pemimpin perusahaan. Namun, mau tidak mau, proses peningkatan pengetahuan tetap harus dilakukan. Karena, salah satu kunci untuk memenangi kompetisi adalah kekuatan dari karyawan yang cerdas atau knowledge worker. Semakin cerdas dan pintar karyawan di perusahaan anda, maka akan semakin mudah pula perusahaan anda menghadapi perubahan dan memenangi kompetisi.

Salah satu solusi yang menarik saat ini adalah dengan menerapkan sebuah sistem yang mampu meningkatkan pengetahuan di internal perusahaan yang dinamakan sistem knowledge management.

Sederhananya, knowledge management merupakan sebuah sistem database berbasis web yang berguna dalam mengelola seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh perusahaan dan pegawainya. Mengelola disini tidak sebatas menyimpan, namun juga menciptakan budaya pembelajaran di lingkungan karyawan melalui proses pertukaran pengetahuan. Sehingga, akan memudahkan karyawan dalam melakukan pembelajaran secara mandiri dan memudahkan dalam memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapinya maupun yang dihadapi pelanggan.

Dengan begitu, maka proses peningkatan knowledge seluruh karyawan tidak memakan biaya besar dan waktu yang lama. Dan secara perlahan tapi pasti, budaya pembelajaran akan semakin tumbuh di lingkungan perusahaan. Alhasil, perusahaan pun bisa percaya diri berkompetisi untuk menjadi yang terbaik.

Contoh baru-baru ini yang paling menarik adalah IBM. Pada akhir tahun 2000, pertumbuhan perusahaan yang terkenal dengan bisnis personal computer (PC) dan semikonduktor itu terus merugi. Namun, pada akhir tahun 2005, IBM mencatatkan pendapatan perusahaan yang luar biasa. Earning per share IBM menjadi 4,87 dollar US pada tahun 2005.

Lalu, apa kuncinya sehingga IBM berhasil kembali menjadi perusahaan yang sangat menguntungkan? Ternyata, salah satu yang dilakukan IBM adalah dengan membangun motivasi karyawan dan menciptakan kompetensi karyawannya melalui penerapan knowledge management. IBM percaya bahwa dengan peningkatan motivasi dan kompetensi karyawan yang signifikan, maka perusahaan akan bisa menciptakan produk dan solusi bagi pelanggannya.

Di Indonesia, setidaknya ada beberapa perusahaan yang telah menerapkan knowlegde management. Di antaranya adalah PLN, UTE Pandu engineering selaku anak perusahaan United Tractor, dan Wijaya Karya. Alasan yang dikemukakan perusahaan-perusahaan tersebut hampir sama, yakni untuk menciptakan budaya pembelajaran dan mempermudah penciptaan solusi, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kapitalisasi perusahaan.

Nah, berkaca dari perusahaan-perusahaan besar yang sukses menerapkan knowledge management, timbul pertanyaan. Apakah usaha kecil menengah (UKM) perlu juga menerapkan sistem knowledge management? Seberapa pentingkah?

Jawabannya cukup sederhana, sangat penting. Kenapa? Seperti kita ketahui, salah satu penyebab UKM kurang memiliki daya saing yang tinggi adalah karena mayoritas pendirinya hanya berpendidikan SMP dan SMU. Sehingga, kemampuan bersaing di tingkat global menjadi terbatas. Untuk itu, peningkatan knowledge bagi UKM dan seluruh pegawainya menjadi suatu keharusan.

Atau bila menggunakan logika sederhana, bila perusahaan besar menerapkan knowledge management untuk pertumbuhan perusahaannya, tentunya UKM harus lebih serius lagi dalam menerapkan knowledge management. Sehingga UKM bisa melakukan lompatan lebih jauh agar bisa cepat menjadi perusahaan besar.

Dalam sistem knowledge management, setidaknya ada tiga proses yang harus dilakukan. Proses pertama adalah eksplorasi, yaitu melakukan pemetaan dalam organisasi mengenai knowledge yang dimiliki oleh setiap divisi, baik yang berhubungan dengan sumber daya manusia, produk, pasar, maupun pelanggan. Dengan begitu, maka akan mudah dilakukan proses pencarian dan pengumpulan seluruh pengetahuan yang dimiliki perusahaan maupun pengetahuan yang dikuasai oleh tiap pegawai.

Kedua, proses pembelajaran. Pada tahap ini dilakukan cara memanfaatkan pengetahuan tersebut secara maksimal. Bisa dengan pertukaran antar individu maupun secara perorangan. Atau, bisa dilakukan melalui forum interaktif untuk berbagi pengetahuan secara online. Pada tahap ini, akan tercipta budaya pembelajaran yang semakin lama semakin kuat. Kenapa? Karena pada dasarnya setiap orang haus akan informasi dan pengetahuan. Akibatnya, perusahaan pun akan semakin kaya akan orang-orang yang kuat pengetahuannya.

Ketiga, proses mencari dan menciptakan pengetahuan baru. Tahap ini akan terjadi bila telah terjadi budaya pembelajaran yang kuat dalam perusahaan. Dan juga, kumpulan knowledge yang sebelumnya dimiliki perusahaan dalam sistem knowledge management tidak lagi mencukupi. Sehingga, tiap orang dalam perusahaan akan berusaha untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang baru. Alhasil, kumpulan pengetahuan dalam sistem knowlegde management menjadi terus berkembang yang pada akhrinya akan menjadi sumber pengetahuan perusahaan yang lengkap dan update atau terus diperbaharui.

Nah, bila perusahaan Anda masih tergolong UKM, maka penerapan knowledge management akan menjadi suatu tantangan menarik. Apalagi bila sudah banyak terbukti mampu menigkatkan daya saing perusahaan.

Siapkah perusahaan Anda berkompetisi? ***

Sumber : http://kolumnis.com/seberapa-pentingkah-knowledge-management-bagi-ukm.html

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

3 Tips Praktis Membangun Knowledge Management

Knowledge-based economy, demikian sebuah kosa kata yang kini makin acap terdengar. Frasa itu secara eksplit juga makin meneguhkan pentingnya makna pengetahuan bagi eksistensi sebuah organisasi – entah itu organisasi bisnis ataupun organisasi publik.

Dalam konteks itulah, kini juga makin mendesak sebuah kebutuhan bagi setiap organisasi untuk membangun apa yang disebut sebagai knowledge management atau manajemen pengetahuan. Knowledge management atau sering disingkat KM sendiri sejatinya dapat diartikan sebagai sebuah tindakan sistematis untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan mendistribusikan segenap jejak pengetahuan yang relevan kepada setiap anggota organisasi tersebut, dengan tujuan meningkatkan daya saing organisasi.

Di Indonesia sendiri, konsep dan aplikasi dari knowledge management ini sudah makin berkembang dengan baik. Bahkan ada sebuah organisasi konsultan, yakni Dunamis (pemegang lisensi Stephen Covey di Indonesia) yang memberikan award tahunan bagi perusahaan di Indonesia yang dianggap terbaik dalam penerapan knowledge management. Award itu disebut MAKE (Most Admired Knowledge Enterprises), dan tiga pemenang utama untuk tahun 2008 ini adalah Excelkomindo Pratama (XL), Astra International dan Telkom Indonesia.

Lalu langkah apa saja yang mesti dilakukan untuk mengembangkan knowledge management yang tangguh? Berikut tiga tips praktis yang mungkin bisa dirajut guna menata knowledge management yang efektif.

Langkah yang pertama adalah membangun apa yang bisa disebut sebagai Portal Pengetahuan secara internal (intranet knowledge portal). Dalam portal yang bisa diakses oleh setiap anggota perusahaan inilah, disusun beragam folder dan menu pengetahuan yang relevan. Isinya bisa menyangkut artikel-artikel tentang manajemen praktis; paper mengenai dinamika industri bisnis yang digeluti; materi-materi pelatihan internal; ataupun juga berupa paper pengalaman dari karyawan perusahaan tersebut dalam mengerjakan sebuah projek tertentu.

Dulu ketika saya masih bekerja pada sebuah perusahaan konsultan asing, firma saya ini menyediakan sebuah portal pengetahuan yang sangat ekstensif. Salah satu menu favorit kami adalah “lesson learned paper” yang berisikan poin-poin penting apa – baik poin kegagalan ataupun keberhsilan — yang diperoleh ketika rekan-rekan kami mengerjakan projek konsultasi untuk para kliennya di berbagai negara di dunia. Melalui paper ini, “learning curve” kami dapat bergerak dengan cepat lantaran adanya proses saling berbagai pengetahuan dari beragam sumber di beragam tempat.

Lalu, siapa yang mestinya mengelola portal pengetahuan ini? Idealnya mesti ada satu dedicated person yang bertugas mengidentifikasi, mengkodifikasi dan menata beragam sumber pengetahuan yang relevan (sebutannya adalah “knowledge officer”). Orang ini tentu mesti dibantu oleh tim IT untuk menyiapkan infrastruktur database dan portal intranet tersebut.

Langkah praktis kedua adalah dengan mentradisikan semacam pertemuan Knowledge Sharing Session, selama sekitar 2 jam, setidaknya setiap bulan sekali. Sharing session ini bisa dilakukan secara corporate-wide, atau dilakukan per departemen/divisi. Bisa dilakukan dengan mengundang narasumber dari luar atau internal. Materinya bisa berupa pengetahuan manajemen praktis ataupun pengalaman karyawan dalam mengerjakan sebuah tugas/projek. Hasil sharing session ini kemudian juga bisa di-upload ke Portal Pengetahuan, sehingga setiap karyawan bisa mengakses materinya. Knowledge sharing session ini akan sangat bermanfaat dalam menggali dan mendistribusikan potensi pengetahuan yang ada dalam diri setiap karyawan perusahaan.

Langkah praktis ketiga adalah dengan menerbitkan semacam Online Knowledge Buletin. Buletin ini dapat diterbitkan sebulan atau dua bulan sekali, dan berisikan update pengetahuan-pengetahuan mutakhir mengenai manajemen/bisnis ataupun mengenai dinamika industri yang ditekuni oleh perusahaan tersebut (beragam artikel yang ada di blog ini juga sangat cocok menjadi materi buletin itu…..hehehehe). Buletin ini sebaiknya didistribusikan melalui multimedia email (email multimedia maksudnya email yang isinya variatif, penuh warna dan elemen visual lainnya; jadi berbeda dengan email tradisional yang garing dan biasa Anda terima itu). Melalui knowledge buletin ini, pengetahuan setiap karyawan perusahaan Anda bisa terus disegarkan dan ter-upate; jadi tidak lapuk ketinggalan zaman.

Demikianlah tiga langkah praktikal yang mungkin bisa Anda lakukan untuk mulai membangun knowledge management system di kantor/perusahaan Anda. Sebuah tindakan untuk merawat, menyemai dan memupuk benih-benih gagasan setiap insan demi tumbuhnya sebuah taman pengetahuan yang indah nan mencerahkan.

Sumber : http://strategimanajemen.net/2008/07/21/3-tips-praktis-membangun-knowledge-management/

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

Sistem Pakar

Sistem pakar merupakan sebuah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan, fakta dan teknik penalaran yang dimiliki manusia sebagai pakar yang tersimpan di dalam komputer, dan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang lazimnya memerlukan pakar tertentu (Martin dan Oxman, 1998).

“Sistempakar” yang baik dapat menyelesaikan masalah dengan
lebih sempurna, sebanding dengan seorang pakar yang mempunyai pengetahuan dalam
bidang tertentu.

Sistem pakar adalah program “artificial inteligence” (”kecerdasan buatan” atau AI) yang
menggabungkan basis pengetahuan dengan mesin inferensi. Ini merupakan bagian
software spesialisasi tingkat tinggi atau bahasa pemrograman tingkat tinggi
(High level Language), yang berusaha menduplikasi fungsi seorang pakar dalam satu bidang keahlian tertentu. Program ini bertindak sebagai konsultan yang cerdas atau penasihat dalam suatu lingkungan keahlian tertentu, sebagai hasil himpunan pengetahuan yang telah dikumpulkan dari beberapa orang pakar. Dengan demikian seorang awam sekalipun bisa menggunakan sistem pakar itu untuk memecahkan berbagai persoalan yang ia hadapi.

Sistem pakar dengan desain yang benar dan sejumlah komponen yang saling bekerja sama untuk membentuk suatu kesatuan integrasi, akan dapat digunakan oleh orang awam untuk membantu memecahkan masalah tertentu dan bagi seorang ahli, sistem pakar dapat dijadikan alat untuk menunjang aktivitasnya yaitu sebagai sebagai asisten.

Sumber : http://blog.re.or.id/sistem-pakar.htm

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

Modal Pengetahuan

Saat ini, teori Teknologi Informasi (TI) mencoba untuk menjual konsep Knowledge Management (KM). Dari sudut pandang TI, dinyatakan dengan mewujudkan suatu sistem yang dapat mendeteksi berbagai kreasi dari suatu organisasi pengetahuan baru dapat dengan mudah diidentifikasi, siapa orang yang membangun dan  atau menguasi suatu pengetahuan yang berguna bagi orang lain, hal ini diwujudkan oleh TI dengan bagaimana caranya agar dapat diakses secara bebas dan cepat.

Dengan konsep database enterprise, yang terus di-update dengan pengetahuan-pengetahuan baru, dapat melayani kepada semua “knowledge workers” sebagai sumber referensi dimana mereka dapat melakukan konsultasi, asistensi, dan pencerahan terhadap pekerjaannya masing-masing.

Karl Albrecht, pada bukunya “The Power of Minds at Work”, menyampaikan bahwa pendekatan database untuk Knowledge Management sangat dimungkinkan untuk gagal dengan beberapa alasan yang sangat fundamental. Hal ini disebabkan dangkalnya pandangan masyarakat luas terhadap pemikiran dan ideologi mengenai “Digital”. Ditunjukkan dengan manusia diperlakukan sebagai elemen dari mesin informasi dalam organisasi pengetahuan dengan anggapan mereka dapat diprogram dan diberi perintah persis seperti elemen dari data.

Beberapa inisiatitor KM sebelumnya merasa frustasi dengan berbagai cara yang mereka lakukan untuk membangun organisasi pengetahuan, hal ini disebabkan karena kurangnya dorongan/rangsangan untuk mendokumentasikan/melaporkan pengetahuan yang didapatkan dari pekerjaan mereka sehari-hari.

Sebagaimana yang sering terjadi pada suatu organisasi TI yang bermula dari paradigma mekanistik. Disisi lain tantangan yang paling berat adalah pada budaya berbagi dibanding dengan teknis. Menurut Karl Albrecht, kita harus belajar dari para antropolog, sosiolog, sejarahwan, musisi, artis, dan penulis daripada kepada para teknokrat. Kita perlu menanyakan beberapa pertanyaan dasar seperti :
» Bagaimana budayawan (primitif hingga saat ini) memiliki rasa untuk berbagi pengetahuan ?
» Bagaimana mereka mengamankan ”icons” dan hasil budaya dari waktu ke waktu dan generasi secara turun temurun ?
» Singkatnya, bagaimana mereka membangun pengetahuan yang dapat memberikan manfaat kepada kebudayaan ?

Implementasi ICT dalam menumbuhkembangkan pengetahuan diharapkan dapat juga berperan sebagai pendukung, memberikan feedback, sekaligus penyeimbang kita sebagai insan manusia yang memiliki bakat emosional dan spiritual. Jangan sampai dengan adanya ICT sisi manusiawi kita akan hilang, dengan adanya teknologi maka budaya seni kita hilang, sopan santun dan tata cara bicara kita pun mengalami degradasi.

Sumber : http://eddynurmanto.unpad.ac.id/?p=25

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

Data, Informasi, dan Pengetahuan

Kita tentunya dapat membedakan dengan baik antara data, informasi, dan pengetahuan. Berikut ini definisinya :
Data : bagian paling dasar/kecil dari karya manusia. Data bersifat kaku. Merupakan representasi dari fakta yang ditemukan dalam aktivitas sehari-hari. Misal, uang dito hari ini = Rp. 350.000
Informasi : hasil pengolahan dari data yang dapat memberikan gambaran lebih jelas terhadap sesuatu. Informasi bersifat dinamis. Semua orang memiliki tanggapan yang berbeda-beda pada suatu informasi. Misal, kondisi keuangan dito dalam seminggu meningkat sebanyak 480% padahal minggu yang lalu dia mengalami defisit sebesar 24%.
Pengetahuan : adalah informasi yang diinterpretasikan dan diintegrasikan. Pengetahuan berasal dari informasi yang diserap dalam akal pikiran seseorang. Pengetahuan bersifat transenden. Misal, sepanjang pengetahuan saya, dito tidak pernah memiliki uang lebih banyak dibandingkan arif.

Knowledge Management merupakan suatu paradigma pengelolaan informasi yang berasal dari pemikiran bahwa pengetahuan yang murni sebenarnya tertanam dalam benak dan pikiran setiap manusia. Maka dari itu perlu dibangun suatu mekanisme penyebaran informasi dan pengalaman dari sumber daya manuisa yang ada agar terjadi peningkatan pengetahuan dari masing-masing pelaku kegiatan di dalam suatu organisasi.

Sumber  :http://eddynurmanto.unpad.ac.id/?p=26

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

Knowledge Management dan Kiat Praktisnya

Knowledge Management dan Kiat Praktisnya

by Romi Satria Wahono

kmcartoon.gifKnowledge management adalah konsep dan jargon besar yang susah diimplementasikan. Apa saking sulitnya dipahami sehingga susah diimplementasikan? Atau apa karena perlu tool yang mahal dan canggih sehingga tidak mudah diterapkan? Atau mungkin karena dosen dan pengajar knowledge management terlalu berteori setinggi langit sampai malah lupa untuk memanage pengetahuannya sendiri? Hehehe mungkin terakhir ini jadi faktor utama. Menurut saya, knowledge management itu mudah, murah dan wajib menjadi perilaku keseharian kita. Ini topik diskusi yang saya angkat ketika mengisi Workshop yang diselenggarakan oleh Divisi Komunikasi (Communication Team) Pertamina beberapa waktu yang lalu. BTW, Workshop ini dilakukan dalam rangka mensukseskan program Transformasi Pertamina menuju persaingan baru. Selain saya yang membawakan tema Knowledge Management dan Learning Organization, di jadwal tertulis nama Prof Roy Sembel yang menyajikan tema Investor Relation.

APA ITU KNOWLEDGE MANAGEMENT

Diskusi saya awali dengan ungkapan Peter Drucker yang sangat terkenal, yaitu:

the basic economic resource is no longer capital, nor natural resources, not labor. It is and will be knowledge

Ya perubahan dunia ini mengarah ke fenomena bahwa sumber ekonomi bukan lagi dalam bentuk money capital atau sumber daya alam, tapi ke arah knowledge capital. Justru karena knowledge alias pengetahuan ini kedepannya memegang peranan penting, karena itu harus kita kelola.

Organisasi dan perusahaan di dunia ini sebenarnya sudah sejak lama menderita kerugian karena tidak mengelola pengetahuan pegawainya dengan baik. Konon kabarnya di suatu institusi pemerintah, hanya karena PNS yang sudah 30 tahun mengurusi listrik dan AC masuk masa pensiun, sehari setelah itu listrik dan AC masih belum menyala ketika para pegawai sudah masuk kantor. Ya, tidak ada yang menyalakan listrik dan AC, karena hanya si PNS itu yang tiap pagi selama 30 tahun menyalakan listrik dan AC. Bahasa ngoko alus-nya:

when employees leave a company, their knowledge goes with them … ;)

Organisasi dan perusahaan tidak mengelola pengetahuannya dengan baik, sehingga transfer pengetahuan tidak terjadi. Organisasi perlu mengelola pengetahuan anggotanya di segala level untuk:

  • Mengetahui kekuatan (dan penempatan) seluruh SDM
  • Penggunaan kembali pengetahuan yang sudah ada (ditemukan) alias tidak perlu mengulang proses kegagalan
  • Mempercepat proses penciptaan pengetahuan baru dari pengetahuan yang ada
  • Menjaga pergerakan organisasi tetap stabil meskipun terjadi arus keluar-masuk SDM

Nah, sebenarnya yang berkewajiban mengelola pengetahuan itu individunya atau organisasinya? Sebenarnya setiap orang harus mengelola pengetahuan mereka sendiri, karena yang paling berkepentingan mendapatkan manfaat dari pengelolaan pengetahuan itu adalah individu. Ketika semua pengetahuan yang saya dapat ketika bekerja, part time atau menggarap project saya explicit-kan dalam bentuk tulisan. Kemudian saya simpan rapi dan kalau perlu saya database-kan sehingga muda saya cari kembali, ini semua membantu dan mempercepat kerja saya ketika masalah serupa datang. Kalaupun saya pindah kerja, knowledge base yang saya miliki tadi menjadi “barang berharga” yang bisa saya “jual” dalam bentuk skill dan kemampuan ke perusahaan baru.

Knowledge management itu mudah? Ya, mudah dan kita sudah melaksanakannya selama ini kan :) Kalau nggak percaya cek animasi di bawah deh, itu contoh mudah knowledge management.

contohkm.gif

Nah dari gambar diatas, kita jadi tahu, KNOWLEDGE atau PENGETAHUAN yang berkali-kali kita bicarakan itu sebenarnya makhluk apa. Pengetahuan itu bisa dibagi menjadi dua:

  1. Explicit Knowledge: pengetahuan yang tertulis, terarsip, tersebar (cetak maupun elektronik) dan bisa sebagai bahan pembelajaran (reference) untuk orang lain. Dari contoh di atas, ketika seorang member milis memberi solusi dari buku, maka sebenarnya itu adalah bentuk explicit knowledge.

  2. Tacit Knowledge: pengetahuan yang berbentuk know-how, pengalaman, skill, pemahaman, maupun rules of thumb. Nah dari contoh di atas, ketika seorang member milis menjawab berdasarkan pengalaman dia, hasil ngoprek atau nggak sengaja dapat solusi misalnya, itu semua adalah tacit knowledge. Tacit knowledge ini kadang susah kita ungkapkan atau kita tulis. Contohnya, seorang koki hebat kadang ketika menulis resep masakan, terpaksa menggunakan ungkapan “garam secukupnya” atau “gula secukupnya”. Soalnya memang dia sendiri nggak pernah ngukur berapa gram itu garam dan gula, semua menggunakan know-how dan pengalaman selama puluhan tahun memasak. Itulah kenapa Michael Polyani mengatakan bahwa pengetahuan kita jauh lebih banyak daripada yang kita ceritakan :)

MEMAHAMI KNOWLEDGE SPIRAL ALIAS SECI

Legenda knowledge management tentu tidak bisa kita lepaskan dari Ikujiro Nonaka dengan bukunya The Knowledge-Creating Company. Nonaka menceritakan bagaimana success story Matsushita Electric pada tahun 1985 ketika mengembangkan mesin pembuat roti.

Konon pada era tahun 1985, Matsushita Electric menemui kesulitan besar dalam produksi mesin pembuat roti. Mereka selalu gagal dalam percobaan yang dilakukan. Kulit luar roti yang sudah gosong padahal dalamnya masih mentah, pengaturan volume dan suhu yang tidak terformulasi, adalah pemandangan sehari-hari dari percobaan yang dilakukan. Adalah seorang pengembang software matsushita electric bernama Ikuko Tanaka yang akhirnya mempunyai ide cemerlang untuk pergi magang langsung ke pembuat roti ternama di Osaka International Hotel. Dia dibimbing langsung oleh sang pembuat roti ternama tersebut untuk belajar bagaimana mengembangkan adonan dan teknik khusus lainnya.

Selesai magang dia presentasikan seluruh pengalaman yang didapat. Pada engineer Matsushita Electric menerjemahkannya dengan penambahan part khusus dan melakukan perbaikan lain pada mesin. Percobaan yang dilakukan akhirnya sukses. Dan produk mesin pembuat roti tersebut akhirnya memecahkan rekor penjualan alat perlengkapan dapur terbesar pada tahun pertama pemasaran.

Ikujiro Nonaka membuat formulasi yang terkenal dengan sebutan SECI atau Knowledge Spiral. Konsepnya bahwa dalam siklus perjalanan kehidupan kita, pengetahuan itu mengalami proses yang kalau digambarkan berbentuk spiral, proses itu disebut dengan Socialization – Externalization – Combination – Internalization. Oh ya, saya pernah tulis artikel tentang spiralisasi pengetahuan ini di IlmuKomputer.Com plus dengan edisi yang berbeda juga saya masukkan ke Jurnal Dokumentasi dan Informasi BACA yang diterbitkan oleh LIPI.

seci.gif
  1. Proses eksternalisasi (externalization), yaitu mengubah tacit knowledge yang kita miliki menjadi explicit knowledge. Bisa dengan menuliskan know-how dan pengalaman yang kita dapatkan dalam bentuk tulisan artikel atau bahkan buku apabila perlu. Dan tulisan-tulisan tersebut akan sangat bermanfaat bagi orang lain yang sedang memerlukannya.

  2. Proses kombinasi (combination), yaitu memanfaatkan explicit knowledge yang ada untuk kita implementasikan menjadi explicit knowledge lain. Proses ini sangat berguna untuk meningkatkan skill dan produktifitas diri sendiri. Kita bisa menghubungkan dan mengkombinasikan explicit knowledge yang ada menjadi explicit knowledge baru yang lebih bermanfaat.

  3. Proses internalisasi (internalization), yakni mengubah explicit knowledge sebagai inspirasi datangnya tacit knowledge. Dari keempat proses yang ada, mungkin hanya inilah yang telah kita lakukan. Bahasa lainnya adalah learning by doing. Dengan referensi dari manual dan buku yang ada, saya mulai bekerja, dan saya menemukan pengalaman baru, pemahaman baru dan know-how baru yang mungkin tidak saya dapatkan dari buku tersebut.

  4. Proses sosialisasi (socialization), yakni mengubah tacit knowledge ke tacit knowledge lain. Ini adalah hal yang juga terkadang sering kita lupakan. Kita tidak manfaatkan keberadaan kita pada suatu pekerjaan untuk belajar dari orang lain, yang mungkin lebih berpengalaman. Proses ini membuat pengetahuan kita terasah dan juga penting untuk peningkatan diri sendiri. Yang tentu saja ini nanti akan berputar pada proses pertama yaitu eksternalisasi. Semakin sukses kita menjalani proses perolehan tacit knowledge baru, semakin banyak explicit knowledge yang berhasil kita produksi pada proses eksternalisasi.

KIAT MENGELOLA PENGETAHUAN

Sebelum terlalu ke langit, implementasi knowledge management untuk diri kita gimana yah? Paling tidak jangan lupakan beberapa hal yang mungkin sepele seperti di bawah. Saya sendiri menganggap bahwa kiat di bawah adalah best practice knowledge management untuk individu.

  • Atur dan rapikan file-file yang sudah kita download dari berbagai situs, buat kategori yang baik, masukkan file-file ke dalan kategori tersebut. Buat aturan penamaan file yang mudah mengingatkan kita dan mempermudah pencarian kembali. Misalnya masukkan semuanya dalam folder bernama References

  • Usahakan menuliskan segala pengalaman yang kita dapat, dari hal sepele pengalaman ngurusi kambing untuk idul adha, pengalaman mengadakan workshop di kampus, pengalaman memimpin BEM, tips dan trik mendapatkan IPK yang baik, dsb. Ditulis dimana? Bisa gunakan word processor, emacs, notepad atau apapun. Supaya pengalaman kita bisa dimanfaatkan orang lain, sebaiknya tulis di blog kita. Bahkan dengan blog, proses SECI atau knowledge spiral yang diteorikan Nonaka bisa kita implementasikan dengan mudah. Seluruh kegiatan blogosphere dari blogging, blogwalking, kategorisasi posting, trackback, pingback, social networking, diskusi di kolom komentar adalah proses SECI itu sendiri. Bagi saya pribadi, blog RomiSatriaWahono.Net adalah aktualisasi diri, kehidupan dan karir saya ;)

  • Simpan dan rapikan segala tugas mandiri di kampus, paper, artikel, laporan atau buku yang kita tulis, juga jangan lupa tugas akhir kita buat. Buatlah backup secara berkala. Semua karya kita adalah knowledge penting yang kita miliki, menghilangkan mereka adalah menghilangkan sebagian pengetahuan yang kita miliki. Saya sendiri masih menyimpan semua tulisan yang saya tulis dari pertama kali ikut conference di Jepang tahun 1997 (tingkat 2 program undergraduate) sampai semua tulisan saya sekarang. Saya biasa menyimpan dalam folder Publications

  • Catat semua track record kegiatan kita dan karya kita dalam Curriculum Vitae (CV) kita. Jangan sampai ada yang terlewat, buat supaya kita bisa mengedit secara berkala CV kita dengan mudah. Sepele bagi kita belum tentu sepele bagi orang yang merekrut kita nanti. Siapa tahu kegiatan kita menjadi aktifis remaja masjid di kampus malah menjadi poin tersendiri ketika kita masuk ke perusahaan besar yang ternyata milik keluar kerajaan Saudi … hehehe. Saya sendiri selalu mengupdate CV secara berkala , bagi saya CV bukan hanya untuk mencari pekerjaan, tapi untuk mengelola dan mencatat seluruh aktifitas kita selama hidup. Jadi nggak perlu heran atau sirik kalau CV saya mencapai 36 halaman :P , soalnya memang bukan untuk nyari kerja. Saya biarkan pekerjaan yang mencari saya. Lho kok bisa? Saya biarkan google dan seluruh mesin pencari mengindeks CV saya, maka tanpa perlu mencari pekerjaan, pekerjaan yang akan memburu kita :)

Maaf kepanjangan. Mudah-mudahan teman-teman semua semakin termotivasi untuk mengelola pengetahuannya masing-masing. Ingat, tidak ada yang peduli dengan pengetahuan kita, kecuali diri kita sendiri 😉

REFERENSI

  1. Peter F. Drucker, The Coming of the New Organization, 1988
  2. Ikujiro Nonaka, The Knowledge Creating Company, 1991
  3. David A. Garvin, Building a Learning Organization, 1993
  4. Romi Satria Wahono, Menghidupkan Pengetahuan Sudahkah Kita Lakukan?, Jurnal Dokumentasi dan Informasi – Baca, LIPI, 2005

ttd-small.jpg

Sumber  :http://romisatriawahono.net/2008/05/06/knowledge-management-dan-kiat-praktisnya/

Posted in Knowledge Management | Leave a comment

Managing Knowledge at Microsoft

To contextualize your understanding of knowledge management, we will end with a brief case study. In the age of e-commerce, few brands have a more commanding presence than Microsoft. For millions of    people and hundreds of thousands of companies around the globe, Microsoft operating systems and software applications are indispensable components of their work and home environments. But that extraordinary presence comes with an equally compelling challenge. As a direct consequence of the company’s scope and market penetration, Microsoft must grapple with one of the industry’s most daunting customer service loads. This vignette dramatically shows the benefits of knowledge management using an organizational memory.

“Last year our customer satisfaction data identified two areas for im- provement in the customer care arena,” noted Helen Pickup, Director of Microsoft’s Customer Care Centre in Glasgow, Scotland. “Customers were finding it difficult to contact us and, once contact was made, the experi- ence was inconsistent. In order to address this we put together a strategy that focused on both access and service.”

Microsoft’s strategy encompassed two important tactical moves. First, the company’s three major contact points were consolidated into a single channel for all customers. Second, customer service represen- tatives were trained as “knowledge brokers,” tasked with handling in- quiries across all products, programs, and services, rather than relying on a procedure that routed the customer to an appropriate specialist. “The overall goal,” according to Pickup, “was to drive up first contact resolution and improve the customer experience.”
“From the outset,” Pickup continued, “it was clear that this strategy relied on us being able to implement a knowledge management sys- tem that would put all the information on our products, programs, and services at the agents’ fingertips.” After reviewing a number of technologies, Microsoft engaged Project Techniques, a consulting firm, to help evaluate and identify the best solution. Microsoft’s call center outsourcer, Thus PLC, also participated in the evaluation process.

The first step in the process was to identify the type of organiza- tional memory that would satisfy Microsoft’s requirements. Project Techniques reviewed the relative merits of each of the main knowledge management technologies: knowledge-based systems, natural language search, and case-based reasoning (CBR). The goal was to find a tool that would provide both technical and nontechnical agents with easy, structured access to the knowledge base. This led them to select CBR over the other available technologies.
Following an extensive evaluation of CBR applications, Microsoft chose eGain’s CBR product, which captures the full range of customer service, sales, and support data in a single organizational memory and deploys  that   information across  the  entire  contact  center.

Furthermore, support agents can use different levels of the product based on factors such as user expertise, the customer’s situation, or the communication medium (for example, online customer self-service, live Web collaboration, and email).

One of the most important advantages offered by CBR technology lies in its natural, conversational interface. Support agents are provided with information structured to mimic the way people think and speak. Other information retrieval applications, such as keyword search sys- tems, typically are not equipped with sophisticated search refinement capabilities. As a result, keywords often return too many hits, and mis- spelled or incorrect keywords return none. With CBR, when the agent fails to find a solution on the first attempt, the application will ask a further question designed to refine the search, similar to the way peo- ple engage in conversation.
Once the application was deployed in the call center, Microsoft managers discovered another important by-product of CBR technol- ogy, namely, its user-friendliness. “The implementation allowed us to place the information that was needed to handle a wide variety of calls at the agents’ fingertips,” stated Thus PLC’s operations manager. “This reduced our reliance on training and accelerated the speed at which our agents were able to get up and running in the new model.”

Within nine months  following the implementation  of a CBR knowledge management system, Microsoft reported:

■  a 10 percent improvement in overall customer satisfaction rating;
■  a 28 percent  increase in “first-time-fix” success rate;
■  a 13 percent increase in the “agent is informed” customer survey score;
■  a significant reduction in the time required to train new agents, as well as to elevate existing agent skill sets to the expert level;
■  a much wider range of customer care issues handled by individual agents, who also delivered more consistent responses, regardless of the problem.

Summarizing Microsoft’s venture into knowledge management, Helen Pickup declared, “We are confident that knowledge manage- ment is key to success in the customer care arena. We expect to con- tinue investment in this area.”

Conclusion

This chapter has introduced you to knowledge management. A bibli- ography of knowledge management literature is included at the end of this book if you would like to read more on this subject. You should understand that knowledge is worth managing: it is valuable to orga- nizations, and it should be treated as a corporate asset. However, knowledge is not always tangible like a patent or other intellectual property; much of it is difficult, perhaps impossible to codify.
The key points you should take away from this chapter are that:

■ Knowledge  is not static; it evolves. Any knowledge management sys- tem must be able to support the acquisition, analysis, preservation, and reuse of knowledge as a continual cyclical process.

■ Knowledge  exists in two forms: explicit knowledge that can be cod- ified and tacit knowledge that cannot always be codified. If a knowl- edge representation is too formalized, much tacit knowledge will be lost. Thus knowledge representations for knowledge manage- ment systems must be flexible and discursive.

Posted in Case Study KM | Leave a comment

Improving Process Design

Introduction

This chapter describes a knowledge management system that trou- bleshoots  the  manufacturing  process  in  aluminum  die-casting foundries in the U.K. Established in 1974, Wilson & Royston Ltd. has subsidiaries in the U.K., U.S., Spain, and Mexico. They combine their manufacturing experience with state-of-the-art technology and inte- grated CAD/CAM to provide a specialist service for pressure die-casting tools, plastic and rubber injection, compression and transfer moulds, jigs, fixtures, and press tools, plus a precision machining service.

The accumulation of past knowledge is a by-product of the normal working practice of reporting problems within a foundry, rather than by the creation of a new software maintenance action. Solutions to past problems are stored as cases, and CBR finds possible solutions when new problems occur. A significant advancement in the use of CBR for troubleshooting applications is that cases become a resource for im- proving process design by reducing the incidence of similar problems in the future.

The Problem

Two kinds of primary processes are used within aluminum die-casting:

■  Gravity die-casting, where molten metal is poured into a die, or mould. This is useful for casting relatively simple shapes when a low volume of parts is required.

■  Pressure die-casting, where molten metal is injected at high pres- sure into the die. This is the more common technique for mass- producing a large number of parts, or when more complex shapes are required.

Customers expect die-casters to produce finished or near-finished parts; so in practice foundries perform a number of secondary opera- tions in addition to die-casting. There are also several operations carried out prior to the casting stage. For this reason the term die-casting in this chapter is used in the broader sense, to mean the production of finished (or near-finished) parts from raw materials; in other words, all the stages involved in the manufacturing process (drilling, lathing, painting, etc.), not just the act of pouring molten metal or injecting it into a die.

Several problems are associated with die-casting:

■ Typically,  the customer is responsible for the design of the part and often has little or no regard for the processes employed to produce it. That is, functional considerations take precedence over produc- tion considerations. In addition, the customer has aesthetic con- siderations that can sometimes place unnecessary constraints on

the die-caster. Quality expectations can also be unrealistically high due to insufficient in-depth knowledge of the processes used in die-casting.

■ Keeping  track of problems can be difficult. Failures discovered at late stages of manufacture are often caused by early manufac- turing stages. Moreover, certain problems tend to reoccur less frequently than others, making it difficult to find out how a fail- ure was dealt with on a previous occasion. Experienced foundry staff tend to fix problems  without needing to refer to past records, but when key staff retire or change jobs, this knowledge is lost.

■  Tracing the root causes of quality-related problems can also be dif- ficult. Foundry staff rely on experience when deciding on which paths to investigate, because looking at all the possibilities would be impractical or too time consuming.

Two paper-based systems were in use at the foundries: Process Concern Reports (PCR) and Eight Discipline (8D) reports.1  Both of these systems were used for reporting foundry problems. When a prob- lem with a part was reported, either by a customer or from within the foundry, a new PCR would be raised. The form records all the infor- mation concerning the problem, customer details, the actions to rem- edy the problem, and a list of personnel carrying out the recommended actions. The form is then circulated among the personnel named on the form, the actions are carried out, and the PCR closed once the prob- lem is solved. Once closed, the PCR is filed for later reference.

This type of system is valuable because it is a record of the foundry’s troubleshooting experience. The quantity of paper involved, however, made it impractical to search and retrieve appropriate records for problem-solving purposes.

The Knowledge Management Solution

Certain types of problems are common enough for foundry staff to know what to do without having to refer to any kind of records or doc- umentation. Less common failures are more likely to be problematic because the experience gained from fixing such a problem on a previ- ous occasion is more likely to be lost. Even if the information was recorded, finding the appropriate records when required can prove dif- ficult, especially with paper-based systems. This makes CBR an obvi- ous knowledge management methodology to use.

Very often paper-based records already exist, which make good raw material for case-based systems. It is just a question of identifying them and storing them in an accessible way. The PCR and 8D reports were used as the basis for a computer system that records problems in a case base used as a resource for troubleshooting by employing CBR techniques.

Expected Benefits

Predicting the benefits from the implementation of a knowledge man- agement system is rarely straightforward. Process improvements and intangible efficiency gains are not always easy to quantify. Thus, it is helpful to look for a quantifiable measure that may approximate ob- tainable benefits. In an aluminum foundry a reduction in the amount of scrap metal generated, mostly caused by failed castings, is one such metric. At the beginning of this project we estimated that the combined use of the systems would realize a 10 percent reduction of scrap metal. This in turn would save an estimated $150,000 a year at each foundry.

The Team

This project, called QPAC,2 was a three-year research project involv- ing the University of Wales at Aberystwyth and three aluminum diecasters, namely Kaye (Presteigne) Ltd., Burdon and Miles Ltd., and Morris Ashby Castings, all owned by Wilson & Royston. The main aims of the project were as follows:

■  Capture of information relating to foundry problems

■  Reuse of this information for troubleshooting foundry-related problems and for providing statistical information

■  Automation of Process Failure Modes and Effects Analysis (Process FMEA)

Implementation Plan

Our approach was to develop integrated software tools that can share information stored in databases. Real data had to be used to test our soft- ware. This means building tools robust enough to be tested and used in real industrial environments. To this end, prototype software tools have been delivered to our industrial collaborators during the course of the project. They have been used in each foundry over some years.

Each foundry has a network of PCs and servers. The existing sys- tems used at each of the sites were very similar. Because the aim of the project was to develop tools that could perform different tasks but share data and knowledge, we used conventional databases to store in- formation. We wanted to gather realistic data quickly. To this end, we used Delphi as our software development tool. This enabled us to de- liver prototypes quickly and gather information and feedback from our industrial partners.

The main CBR tool is the PCR system, which records foundry prob- lems and uses its database as a case-base for troubleshooting. The Statistical Process Control (SPC) system records results of SPC studies and uses CBR to predict process capability. The Process Flowchart sys- tem is used to design the complete casting process. The result of this design is a list of processes, which forms the framework for the auto- generation of Process Failure Modes Effect Analysis (FMEA).

Both the SPC and PCR systems are referenced during FMEA gener- ation. The SPC system provides useful information for finding the occurrence of certain problems. References to real PCRs are used in the FMEA so that the generic results the system generates can be com- pared with real-life problems.

System Architecture

As previously mentioned, two paper-based systems held valuable trou- bleshooting information, namely, the PCR and 8D reports. We decided to build a database system that would combine the information stored in these two reports. In order to gather as much realistic data as possi- ble, this system was implemented at the earliest possible stage, and has now replaced the paper-based systems at all three foundries. The PCR system is now on the foundries’ networks so that users can access the system from any terminal.

The automated PCR system has four main functions:

1. To hold information for PCR and 8D reports

2. To facilitate troubleshooting by employing CBR techniques

3. To provide graphical information  on problems within the foundry

4. To provide a source of information for automating Process FMEA

The PCR system is a source of past cases of problems with solu- tions. Given a current PCR as input, the system looks through the list of completed PCRs for the ones that it deems to be the most similar. The solutions from the chosen past cases may then give valuable in- formation on how to solve the current problem. The CBR system uses the nearest neighbor method for retrieving cases. A schematic of the system architecture is shown in Figure 5.1.

The Process Flowchart System

One part of IS0-9000 (APQP—Advanced Product Quality Planning) requires the drawing of a flowchart that represents the sequence of steps involved in the production of a particular manufactured product.

6

The production of this flowchart involves a certain amount of input from the customer; so there is inevitably some faxing or emailing back and forth of prototype charts before both sides are happy with the re- sult. The flowchart is graphical in nature and employs a set of symbols to denote specific types of process.

The flowchart system produced by QPAC employs the same con- ventions  as the manual system already in use at Morris Ashby’s. Flowcharts are stored in a database and can be printed graphically from within the program. The use of symbols (and optionally color) makes it easier to spot weaknesses in the process sequence (such as a run of operations with no inspection stages). (See Figure 5.2.)

The process names used by the flowchart system are the same as those employed by the PCR system. A database table specifies all the al- lowable failure modes for each process recognized by the system, while a separate maintenance system allows the user to alter the tables. Having the same names for processes and failures in all systems helps the automation of Process FMEA. The FMEA system, which is incor- porated into the process-flowchart program, takes the list of processes from the appropriate flowchart and, using the process/failure table, generates all the combinations of processes and failures required for a Process FMEA. Each line of the FMEA has a list of PCRs associated with it (for example, completed PCRs that match the process, failure, and part category). Accessing the SPC system (described next) can also generate certain values required for Process FMEA.

7

The SPC System

The Statistical Process Control system is a database for recording the results of SPC studies (that is, Process Capability studies and Machine Capability studies). It includes a feature for predicting process capa- bility for user-defined tolerances using CBR. Given the upper and lower tolerances (U.S.L and L.S.L), the system calculates the midpoint and applies nearest neighbor techniques to find the predicted process capability (CPK) from the best matching cases. (See Figure 5.3.) The predicted value is calculated by adapting the CPK value from the past case to fit in with the user’s new tolerances.

A user accesses the system to obtain Occurrence values for Process FMEA, again using simple CBR techniques. Occurrence is a qualita- tive integer value between 1 and 10 that indicates how often the prob- lem is likely to occur. It is a function of CPK, and is obtained from a suitable past case, using the SPC’s database as the case-base.

Case Representation

The PCR database is a case base for troubleshooting problems within the foundry. As with all the systems, a conventional database structure stores the information. The following EXPRESS description defines all the PCR and 8D information as a single entity.  Where not obvious, the data types are plain text.

8

Case Acquisition

Each foundry had its own stock of past cases stored on paper, based on their own experiences. We decided that combining these into a sin- gle database was undesirable since each foundry manufactures differ- ent kinds of parts and uses slightly different methods and different ma- chinery. Therefore, each foundry maintains its own case base. The initial set of past cases came from paper-based PCRs and 8D reports. The representation used by the computerized system was closely based on the existing paper-based one; consequently, cases are stored virtu- ally “raw,” requiring no further processing.

Since the cases were input by the foundries themselves, much of the knowledge acquisition was automatic. However, we still needed to be able to understand the information ourselves in order to represent it in a sensible way. This requires an understanding of:

■  the terminology used,

■  the typical kinds of problems involved,

■  the interrelationships between the various bits of information, and

■  quality procedures.

Case Retrieval

The case-based troubleshooting system uses nearest neighbor retrieval to find the most appropriate cases. The CBR system also employs a parts clas- sification system that assigns numerical values for five quality attributes:

■  surface finish (for example, smoothness),

■  aesthetic appearance,

■  integrity (for example, lack of porosity),

■ cleanliness  (for example, lack of swarf/flash), and

■ stability  (for example, strength).

Each of the five quality attributes takes on a qualitative value, which represents the level of importance of the attribute. The part classifica- tion options give sensible default values to begin with. The user can then fine-tune the attributes to give values that are more appropriate for the current PCR. The quality attributes are then used in conjunc- tion with nearest neighbor matching to retrieve past-case PCRs. The default quality attributes are derived from a component hierarchy that orders the matched cases so that the most likely cases will be those as close as possible in the hierarchy to the problem.

The case-based system within the PCR system uses nearest neighbor matching to retrieve cases. The properties (and limitations) of nearest neighbor matching are well understood, but the system is flexible enough to allow users to configure the system so that the best possible match can be achieved with only a couple of attempts. Furthermore, since the system retrieves a list of cases instead of just one, users can judge which one is best.

Case Adaptation and Retention

Information  is stored in the PCR system in a very raw state, as detailed textual descriptions that contain specific technical details such as measurements. It is considerably less difficult for users, even with limited foundry experience, to perform their own adaptation than to implement some form of automated adaptation. Automation would have required a much more complex case structure that would have been difficult for foundry personnel to use. For this reason adap- tation is not used within the troubleshooting system.

Being a database system, and a replacement for a paper-based sys- tem, cases are added to the PCR as a by-product of existing quality procedures. The process is entirely automatic, requiring no preprocessing whatsoever.

9

Interface Design, Testing, and Rollout

A great deal of effort went into designing the user interface for the PCR system. The Delphi software development environment made it possible to create demo interfaces in a very short amount of time that were shown to foundry personnel for review and comment. After a few trials the “tabbed notebook” style of user interface (see Figure 5.4) was adopted, as it let us display a large amount of data with more com- pactness than the earlier attempts, which used many separate forms. We adopted the same interface style at various levels within the other systems.

As previously mentioned, we delivered the systems to the foundries at various stages throughout the course of the project. In addition to the users in the foundries using the program, we were able to gather realistic data from the foundries and use this to test the systems for ourselves. Because of the way we delivered the software, it was quite natural for a great deal of feedback to come from the foundries, which in turn led to many enhancements to the system.

The case bases are unique to each site. Had the case base been global we would have had problems with some of the terminology, which is also local to each site. Although each of the case bases is now quite large, it is useful for users to be familiar with the dies that relate to them. This is because it will give users greater confidence in the sys- tem’s ability to retrieve suitable cases.

System Demonstration

The PCR system is designed to be as user-friendly as possible. For ex- ample, when users select a die number from a drop-down list, the pro- gram automatically fills in the part number as well as the customer’s name and address. Alternatively, users can fill in the part number first, and the other three fields are filled in automatically. This is an impor- tant feature for two reasons.

First, it reduces the amount of information that the user has to look up and type in. Second, the information that is immediately at hand will depend on the source of the reported problem. If the customer re- ported the problem, the user may not know the die number, but if the foundry reported the problem, the user would have to look up the part number. The program prints out PCRs and 8D reports by interacting with Microsoft Word. In addition, the PCR system has features that automate the sending of acknowledgment faxes to the customer, and for producing part analyses, pie charts, and so on, for viewing PCR- related statistics.

When a problem occurs with a part, a new PCR needs to be input into the system. The problem may have been raised by the customer or by the foundry itself. Either way the method is the same. The user selects New PCR from the menu and types in the information required on each page, and then saves the PCR. A separate form lets the user select an existing PCR for viewing or editing (shown in Figure 5.5).

The system helps the user find a case-based match to the PCR cur- rently being viewed; simply selecting Similar Cases from the menu does this. A form showing a progress bar is displayed for a few seconds while case retrieval takes place. The form showing the matched cases is then displayed (see Figure 5.6). If users wish to change the parame- ters, they can access these from the Advanced tab and then click on the Find Cases button to try again. The Breakdown button displays a form that illustrates numerically how well each parameter of the selected case matched against the original PCR.

91

92

Benefits

Currently each foundry has about 200 PCRs in their database. The addition of cases to the system replaces the old quality procedure that involved writing out a PCR and 8D report by hand and circulat- ing it among foundry personnel. It should be obvious therefore that the new system represents a  considerable time saving, since the foundry personnel can access all the PCRs from any PC terminal on site.

Using CBR provides the cornerstone for helping us to build up, manage, and reuse troubleshooting knowledge to improve product quality in the foundries. It provides excellent data for creating a realis- tic Process FMEA report and, even beyond that, for deciding on in- spection and control checks in the foundry itself.

The individual benefits of the PCR system are:

Improved quality control. Structured recording of foundry problems and their solutions provides the foundry quality manager with clear, well-classified information about the main issues with pro- duction within the foundry.

More effective troubleshooting. Efficient access to records of past per- formance means that experience is not lost. Past solutions are al- ways available to help with present problems.

Realistic FMEA reports. If FMEA reports are written without refer- ence to live foundry data, they can be divorced from the real prob- lems faced in the foundry. The incorporation of the case-based data means that the design analysis for new products is grounded in real foundry experience.

As a whole, the system closes the loop between today’s problems of manufacturing and tomorrow’s designs, moving the foundry toward problem-free production.

Conclusion

Knowledge management methodologies such as CBR can be usefully employed for troubleshooting and retrieval of knowledge for other purposes. The raw material for a case-based knowledge management system can often be found in existing paper-based systems. The QPAC PCR system and Wayland are examples of systems that have been built based on existing foundry knowledge from paper files.5

Quality systems can be implemented more effectively if designed as part of an integrated set of tools. Statistical records, troubleshooting data, and process design can be useful sources for other systems such as automation of Process FMEA.

Posted in Case Study KM | Leave a comment